(Non-fiksi)
Bab I
Senja Tanpa Rona
9 April 2025
Langit kelabu menyelimuti kota tempat Aviv berada, memantulkan warna yang sama dengan hati Aviv. Di teras rumah milik adiknya, ia tengah duduk memandang dedaunan yang bergoyang tertiup angin. Tangannya menggenggam secangkir teh herbal yang sudah dingin, tak tersentuh. Matanya berkaca-kaca. “Berapa lama waktu yang kumiliki di dunia ini?” rintihnya dalam hati, sementara suara gelak tawa keponakannya yang berusia 2 tahun diiringi lagu-lagu Cocomelon terdengar riang dari dalam rumah, menyertai sunyi yang ia simpan rapat dalam-dalam.
Di genggaman tangannya, ponsel menampilkan notifikasi kosong. Ia masih menunggu jadwal kemoterapi dan radiasi dari BPJS yang belum juga datang. Dua minggu. Tiga minggu, kata perawat di rumah sakit itu. Waktu mengulur panjang, tapi tubuhnya tak punya hak untuk sabar. Kanker stadium IIA-B itu telah tumbuh diam-diam, seperti bayangan yang merayap di kegelapan, monster yang ia pelihara tanpa sadar: gabungan dari luka perjalanan hidup mulai dari masa kecilnya hingga detik ini, kisah cinta yang menguap jadi debu di masa lalu, dan hati yang terkoyak oleh berbagai emosi yang timbul dari “kepergian” orang-orang yang pernah berkata mencintainya termasuk mendiang ayahnya.
“Kanker yang tumbuh ini seakan ingin diakui dari beberapa tahun terakhir,” ucap dokter waktu itu, suaranya begitu datar tapi kian menusuk. Aviv terpaku.
Januari 2024, saat kontrak kerjanya berakhir – bersamaan dengan kekasihnya perlahan berubah jadi asing. Terkenang wajah pria yang dulu pernah berbisik “will you marry me?” di sebuah sore yang tak terlupakan berubah menjadi “maaf, aku belum ada waktu, lihat nanti, dan sebagainya” menjadi jawaban yang mengambang.
Aviv tak menangis, meski terngiang kata-kata dari pria yang merasa terbebani dengan hubungan mereka jika dikaitkan dengan rencana jangka panjang. Hari demi hari berlalu, Aviv berhenti menanyakannya. Ia menyadari tak ada gunanya berharap jika salah satu cita-citanya bisa ia wujudkan bersama pria itu. Aviv mengubur kenangan dari pria yang tak pernah benar-benar memberi jawaban pasti. Sebuah gesture yang sama pernah dilakukan ayahnya dulu sebelum meninggalkan keluarga mereka.
Aviv menggigit bibir. Rupanya, tubuhnya lebih jujur daripada akal sehatnya, ia menyimpan semua luka itu di sel-sel yang membusuk, lambat laun mengubah duka jadi tumor ganas. Kini, kamar kosong di rumah adiknya menjadi saksi bisu rutinitas Aviv sehari-hari. Tempat tidur susun bekas keponakannya, dan jendela yang selalu ia buka lebar setiap pagi, seolah ingin menangkap sisa-sisa kebiasaan lamanya saat masih mandiri.
Sebelumnya, selama belasan tahun, perempuan 40 tahun itu seperti mesin yang terlatih: bangun pagi untuk berangkat kerja, dan pulang kantor dengan tas berisi dokumen yang ia bawa sampai ke meja makan kos-kosan. “Aku sehat. Aku tak butuh apa pun,” dalam benaknya dulu sambil menatap cermin di kamar mandi kosannya, tubuh rampingnya dibalut kemeja putih yang selalu di setrika rapi.
Namun awal Januari 2024 mengubah segalanya. Kontrak kerjanya berakhir, dan dunia korporat yang dulu memujanya tiba-tiba perlahan menyepak keluar karena kendala usia. Aviv tak enggan menyerah, ia mencoba tegar dan melanjutkan hidupnya meski berbagai kekhawatiran mulai muncul di benaknya. Siap tak siap, Aviv memberanikan diri dan bertekad untuk membangun usaha kecil-kecilan dengan meninggalkan kota Jakarta. Ia pun menyewa kios kecil di depan sekolah SD swasta di kawasan Bekasi, dan mengisinya dengan tumpukan kardus berisi dagangan baju-baju impor bermotif dan mesin cup sealer untuk franchise minuman kekinian yang ia beli. “Aku bisa mulai dari sini,” dengan penuh semangat waktu itu sambil menatap langit-langit kios yang cukup panas di awal bulan Juli.
Tubuh Aviv, yang dulu bisa bertahan dengan 5 jam tidur dan kopi susu dan sebungkus rokok, perlahan mulai memberontak. Pinggangnya terasa seperti diikat kawat berduri setiap kali ia mengangkat kardus, kaki kanannya gemetar mirip mesin cuci rusak, dan keringat dinginnya sering menetes ke gelas plastik yang ia isi dengan boba kekinian. Ia menelan painkiller seperti permen, menumpuk sampah blister obat di balik laci kasir. Di balik senyum ramahnya pada pelanggan, lidahnya mulai sering terasa padar — bukan karena takaran gula yang salah di milk tea, tapi karena ia mulai sadar: usahanya hanya pelarian dari bayangan masa depan yang ia impikan tergantikan dengan keringat dan peluh perjuangannya sehari-hari di dalam kios.
Dan malam-malam sepinya, ia kerap terbangun hanya untuk ke kamar kecil. Sambil mengantuk Aviv meraba ponsel yang sudah lama tak menerima pesan “good night” dari siapa pun. Di luar jendela, hujan mengucur seperti air mata yang tak pernah ia izinkan jatuh. Aviv memaksakan diri untuk tidur lagi, tapi dalam senyap, sebuah bisikan jahat dari dalam rahimnya bersiap untuk menunjukkan diri dalam beberapa bulan kedepan, “Kau pikir luka hati bisa kau kubur di bawah tumpukan baju-baju dan cup plastik?” 5 bulan kemudian, tepatnya di awal desember tahun itu, Aviv terjatuh dan hampir tak sadarkan diri di sebuah sudut jalan dalam perjalanan pulang dari kiosnya.
Dengan getir Aviv mengingat kejadian itu sambil menyentuh perutnya yang dari kemarin mulai tak bersahabat. Rahimnya terasa bergejolak tak karuan, kaki kanannya yang sering kram dan ngilu kian menusuk hingga tulang ekor belakang. Entah mengapa rasa nyeri di perut Aviv semakin menjadi-jadi, bagai kedua ovariumnya diremas-remas oleh tangan tak kasatmata yang dipenuhi duri. Setiap tarikan napas terasa menusuk, memaksanya berguling-guling di atas seprai yang basah oleh keringat dingin. Tubuhnya menggigil, tapi ia bertahan hingga akhirnya kelelahan mengalahkan kesadaran, ia pun terlelap dalam pelarian singkat selama satu jam.
Aviv terbangun oleh sensasi lembap yang menyelimuti paha. Dadanya sesak ketika melihat celana panjang dan alas tidurnya telah berubah menjadi merah darah yang menggenang tanpa ampun. Kepalanya berputar oleng saat ia mencoba bangkit. Langkahnya tertatih ke kamar mandi, berusaha membersihkan sisa-sisa tragedi yang menempel di kulit. Tapi begitu kembali ke kasur, darah segar kembali mengucur deras, disertai gumpalan-gumpalan gelap yang keluar bagai banjir bandang. Lututnya lunglai, pandangan berkunang-kunang, dan ruangan tiba-tiba gelap. “Mama… tolong Aviv…” suaranya parau, nyaris tak terdengar, tubuhnya terasa kaku bagaikan boneka kayu.
(bersambung)