https://unsplash.com/photos/2-orange-and-white-robot-toys-bmMzLWpS0Ws?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Hubungan Tanpa Status’ yang kita kira sudah usai

Ternyata masih trending hingga detik ini. Mungkin diantara kamu pernah mendengar singkatan ini di awal tahun 2000-an, yang artinya hampir dua dekade lalu; yaitu sekadar modus agar dekat tanpa komitmen.

Namun kenyataannya, hingga sekarang, mode interaksi ini masih hidup. Bedanya, wajahnya saja yang sudah berubah, sebab HTS kini hadir bukan sekadar karena belum mau pacaran, status diri dan sebagainya, melainkan gaya hidup digital, budaya, dan keengganan untuk berhubungan serius yang makin terasa di generasi sekarang.

Kenapa Gaya HTS Masih Jadi Pilihan?

Sebab generasi Z dan Alpha cenderung lebih menghargai koneksi yang santai dan fleksibel, tanpa harus terikat oleh label atau status tertentu. Namun tak hanya mereka, banyak pula generasi Milenial yang memanfaatkan teknologi, seperti aplikasi kencan dan media sosial seperti TikTok, Instagram untuk bertemu dan berinteraksi secara cepat dan praktis.

Walau hubungan yang terjalin cenderung singkat dan mudah berakhir, namun hal ini tidak mengurangi keinginan bagi mereka yang ingin mendapatkan perhatian dari orang lain. Di samping itu, pengalaman trauma dari hubungan toxic di masa lalu, perselingkuhan, dan perceraian juga menjadi alasan mengapa dengan memilih menikmati kebersamaan tanpa beban jauh lebih menenangkan.

Ada pula mereka yang memilih untuk HTS di era digital ini tanpa perlu tahu banyak tentang pasangan HTS-nya, sebab mereka justru merasa lebih nyaman jika memiliki seseorang untuk berbagi cerita-rahasia, mengusir sepi tanpa harus membuka identitas diri secara terbuka di dunia nyata atau publik.

https://unsplash.com/photos/a-couple-of-small-figurines-standing-next-to-each-other-GqRXJMetaxo?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

‘Emotional Damage’ dari HTS

Meski terlihat santai dan cuma sekadar hiburan, hubungan HTS ternyata bisa membuat hati seseorang bergejolak, terombang-ambing, bahkan galau dan “baper” alias terbawa perasaan. Menurut beberapa riset, hal ini terjadi karena manusia pada dasarnya secara alamiah memiliki kebutuhan akan keintiman serta pengakuan.

Misalnya, ketika kita terlibat dalam hubungan samar, tanpa komitmen nyata – perasaan suka atau sayang bisa saja berkembang secara tidak sadar, yang lambat laun memunculkkan perasaan-perasaan mulai dari rasa tidak aman, sering bertanya dalam hati;

“Aku cukup berarti nggak ya buat dia?”, sampai overthinking, lalu berpikir kemana arah hubungan ini, apa ada orang lain, dan sebagainya.

Terkadang, self-talk negatif tersebut timbul, yang kemudian membuat kita merasa ‘down’ – harga diri turun karena merasa cuma jadi pilihan sementara. Bahayanya lagi jika pasangan HTS ternyata telah memiliki pasangan sah (suami atau istri). Situasi seperti ini bisa dikhawatirkan malah dapat menimbulkan luka emosional dalam diri ketika hubungan usai.

https://unsplash.com/photos/a-couple-of-small-figurines-sitting-on-top-of-a-wooden-table-LAIZDsBJjdw?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Jadi, apa HTS Masih Layak?

“Apakah hubungan ini benar-benar yang kita cari atau hanya pelarian?”

Jawaban dari pertanyaan ini bisa berbeda-beda tergantung pengalaman dan persepsi masing-masing. Sebagian orang merasa bahwa HTS memberikan sensasi dan kesenangan tersendiri. Sebagai hiburan yang menyenangkan, bebas tanpa perlu menanggung konsekuensi serius kedepannya. Tapi sisi lain, ada juga yang justru merasa kehilangan jati diri dan merasa semakin jauh dari tujuan hidupnya saat menjalani hubungan tanpa status ini.

Kembali lagi pada diri sendiri, dan mengingat bahwa hubungan romansa jauh lebih indah jika didasarkan oleh apa yang benar-benar sehat bagi hati. “Jadi benarkah HTS adalah sesuatu yang kamu inginkan?”