Friendzone: “hubungan persahabatan lawan jenis yang berjalan dengan erat sehingga bersifat platonik & sulit meningkat ke arah romantik”
Part I: Dicky dan Lydia
Dicky, pemuda berusia 30 tahun itu tampak memandang satu-persatu koleksian sneakersnya yang berjajar rapi di sebuah rak. Ia menerka-nerka yang mana yang akan ia kenakan. Hari ini ia sudah janjian dengan Lydia untuk makan diluar.
Ada yang spesial diantara Dicky dan lydia, mereka berteman baik sejak beberapa tahun belakangan. Pertama kali mereka mengobrol kala itu Lydia tengah melakukan audit keuangan di perusahaan tempat Dicky bekerja. Sejak itulah mereka dekat dan menjadi sahabat.
Buat dicky, Lydia seorang pendengar terbaik, teman yang bijaksana dan juga kocak. “My best friend nih” ucap Dicky, kapan pun jika ia mengenalkan Lydia ke teman-teman maupun anggota keluarganya.
Perutnya terasa keroncongan, ia belum makan dari pagi. Sejak matahari terbit ia sudah sibuk dengan pekerjaannya. Akhir-akhir ini sebagian besar harinya ia habiskan di kamar kos. Kadang hingga larut malam ia yang tampak kelelahan masih saja sibuk dengan pekerjaan, ditambah lagi jadwal conference call bersama tim IT yang berada di luar Indonesia, terkadang membuatnya baru bisa terlelap sekitar pukul 3 pagi.
Pandangan Dicky akhirnya tertuju pada sepasang sepatu limited edition kesayangannya. Ia pun mengenakan itu. Setelah rapi, ia meninggalkan kos-nya dengan memesan taksi online.
Cukup 10 menit Dicky pun tiba di sebuah resto bar di kawasan jakarta selatan. Selain memesan steak, Dicky hendak menenggak beberapa teguk minuman beralkohol dan setengah bungkus Marlboro untuk melepaskan penatnya. Entah sudah berapa lama ia tak menyentuh minuman favoritnya itu, tapi yang pasti ia merasa berhak mendapat sedikit kesenangan sejak berhari-hari hanya makan, tidur dan bekerja.
Lydia: ” Akhirnya, yaa keluar juga lo dari goa hahaha”
Dicky sudah terbiasa disambut dengan canda dan sedikit bully-an dari sahabatnya itu. Ia pun tertawa. Satu hiburan yang sangat berarti buatnya untuk bisa menikmati waktu bebas tanpa beban pekerjaan untuk sementara. Apalagi sejak wabah virus yang melanda, Dicky jarang kemana-mana.
“Beruntungnya”, ujar dicky dalam hati. Akhirnya ia bisa nongkrong lagi di resto kesukaannya yang belakangan sempat tutup selama pandemik Corona. Buatnya malam itu seperti memberikan angin segar.
Sambil menikmati makanan dan musik playback yang diputar di restoran, Dicky bercerita pada Lydia kalau hari ini dia sempat kepo-in akun instagram seseorang. Lydia sudah tahu siapa yang dimaksud. Bukan hal yang baru ia dengar tapi Lydia juga penasaran.
Lydia: ” Eh gimana-gimana? Jadi mereka masih bareng gitu?”
Dicky: ” Kelihatannya iya sih, n mereka kelihatan happy banget ko di postingan foto itu, best friend banget ya hahaha”
Dicky tertawa sekaligus menyindir. Tapi hatinya juga ikut terkena. Seketika terlintas memori lama muncul kembali dalam pikirannya, serta wajah seorang gadis yang pernah menarik hatinya 7 tahun lalu…
Part II: Dicky dan Emma
7 tahun yang lalu
Dicky meraih sebuah buku yang sedari tadi ia cari. Perpustakaan itu terlihat lenggang. Hanya dia, beberapa mahasiswa dan penjaga perpustakaan yang terlihat pagi itu. Ia mencari bahan pendukung thesisnya. Siang nanti ia juga harus stand by di stasiun radio kampusnya. Seperti biasa keseharian Dicky memang cukup padat.
Tapi akhir-akhir ini ia juga terlihat bersemangat. Ada seseorang yang membuatnya bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan tugasnya tanpa disuruh. Dicky memandang jendela kelasnya dari luar. Sembari menanti mahasiswa lainnya yang bersiap masuk sekitar 5 menit lagi. Pukul 9 kelas ekstensi itu pun dimulai.
…………..
Menjelang jam makan siang Dicky mampir ke kantin. Teman-temanya sudah berkumpul disana. Mereka adalah geng nonkrong-nya Dicky, hampir setiap hari mereka bersama selepas jam kuliah, dan karena sebagian besar dari mereka tinggal jauh dari orang tua, maka tiap weekend mereka pun sering menghabiskan waktu bersama, entah untuk makan, nonton, jalan-jalan ataupun nge-dance bareng di salah satu club musik anak muda yang terkenal di Bandung.
Baron :”Hey bro, sehat lo?”
Dicky : “Not bad, persiapan thesis lo gimana?”
Ollin : “Ah makin deket aja ya waktu sidang, btw kyknya gw nanti jadi lanjutin kuliah di Jepang”
Lukas : “wah jadi ke Jepang?
Kapan-kapan kalau gw kesana gratis tinggal tempat lo ya hehehe “
Dicky: “oiya Emma mana?”
Baron : ” kelasnya baru mau kelar, nanti dia nyusul katanya”
Mata Dicky mencari sosok Emma di sekeliling kantin. Cewek tomboy dengan rambut hitam tebal tergerai di bawah bahu itulah ia yang paling ia tunggu. Dalam diam senyum Dicky perlahan mengembang dan matanya berbinar tiap kali ia menatap Emma.
Dicky naksir padanya.
Tubuh Emma yang tinggi semampai, wajah oval, hidung bangir serta bibir tipis yang pelit senyum telah menyita perhatian Dicky. Awalnya dia mengira kalau gadis itu sombong saat pertama kali bergabung di radio 6 bulan yang lalu, tapi sejak mereka ber-5 sering jalan bareng, ia mulai mendapati kalau gadis Emma yang cuek ternyata orangnya sangat menyenangkan dan asyik diajak bicara.
Dicky kagum dengan Emma yang simpel, tak seperti kebanyakan teman-teman cewek lainnya yang ia kenal. Emma juga suka mengenakan celana pendek serta sneakers yang membuatnya terlihat makin cute. Selain itu mereka juga memiliki kesamaan dalam selera musik, jenis olahraga dan sama-sama magang di stasiun radio kampusnya bersama Baron, Ollin dan juga Lukas.
Hampir setahun ia tergabung dalam komunitas radio. Di kampusnya anak-anak radio termasuk populer, tak semua mahasiswa bisa masuk seleksi.
Sebagai music engineer di radio, Dicky paling rajin mendengar Emma kalau sedang siaran. Suara serak-serak renyah ala announcer-nya serta pilihan lagu-lagu dari Maroon five yang sering diputar membuat pikirannya melayang-layang. Padahal Dicky tak pernah request lagu dari band favoritnya itu.
Lama kelamaan tiap lirik lagu seperti berbicara padanya. Kian hari melambangkan rasa yang ia punya. Kadang ia menganggap seakan Emma sedang memutarkan lagu itu untuknya. Tapi ini rahasia, hanya Dicky dan playlist yang tahu makna nya.
Sebetulnya sejak lama ia ingin mengajak Emma pergi keluar berdua saja. Ia membayangkan jika dirinya dan Emma jalan bersama seperti sepasang kekasih.
Tapi Dicky juga tak tahu perasaan Emma.
Akhir tahun lalu ketika Emma berulang tahun, ia mendapat kecupan di pipi bersamaan dengan pelukan hangat. Emma juga berterima kasih pada semua temannya yang telah memberi surprise di hari spesialnya itu.
Tapi buat Dicky, bibir lembut Emma yang mendarat di pipi tlah membekas di hatinya hingga keesokan hari.
Bersambung…….